PSIKODAY,Malang- Konser tunggal kelompok musik etnik kontemporer asal Malang ini padukan musik, tari, dan warisan budaya dalam pertunjukan intim bertabur kisah Nusantara.
Kelompok musik etnik kontemporer asal Malang, Arca Tatasawara, siap menggelar konser tunggal bertajuk “Harmoni Candi Nada Zaman” pada Minggu, 10 Agustus 2025, di Candi Kidal, Tumpang, Kabupaten Malang. Konser ini bukan sekadar pertunjukan musik, melainkan pernyataan sikap sekaligus deklarasi misi kebudayaan mereka: menghubungkan kembali masyarakat, khususnya generasi muda, dengan warisan budaya Nusantara.
Tampil dengan formasi Nova (vokal), Koko (gitar), Adit (drum), Cak Mad (bass), Fisal (suling, terompet, kendang), Toetut (biola), dan Aak (sapek), para personel datang dari latar belakang musik beragam dari tradisi hingga jazz. Perbedaan inilah yang justru menjadi kekuatan, melahirkan aransemen unik yang mereka sebut sebagai world music kontemporer. “Awalnya sulit menyatu, tapi tantangan itu justru membuat kami menemukan bahasa musik kami sendiri,” ungkap Nova, sang vokalis.
Konser ini akan menampilkan delapan lagu bertema Nusantara, masing-masing terinspirasi dari cagar budaya, mitologi, hingga akulturasi tradisi. Lagu Garudeya mengangkat kisah pembebasan Garuda dari perbudakan naga, dikolaborasikan dengan dramatari Ambabad Bakti Suci. Nusantara menghadirkan kolaborasi Reog Ponorogo dan Barong, sementara Jegeg Sajan membawa nuansa Bali yang kental. Ada pula Singgah bernuansa Tionghoa, Merantau dengan warna musik Minang, Pertanian yang mengangkat relief Karmawibhangga Borobudur, Malang dengan tari topeng khas Malang Raya, dan Javabian berpadu tari sufi bernuansa Timur Tengah.
Tak hanya musik, pengunjung juga akan disuguhi beragam aktivitas budaya sejak siang hari, seperti sound healing, live painting, edukasi tari, hingga ajar budaya arkais. Puncak acara dimulai pukul 19.00 dengan doa bersama, pemotongan tumpeng tasyakuran, dan penyerahan penghargaan kepada tokoh budaya pendukung.
Sejak terbentuk pada Agustus 2023, Arca Tatasawara konsisten mengusung pelestarian budaya. Nama mereka terinspirasi pahatan Candi Jago abad ke-13 yang menggambarkan para seniman dan alat musik. Bagi Aak, musik adalah jembatan menuju kesadaran kolektif akan pentingnya situs budaya. “Kami ingin membuktikan bahwa cagar budaya bukan sekadar objek sejarah, tapi sumber inspirasi yang hidup,” tegasnya.
Selain konser di Candi Kidal, Arca Tatasawara juga tengah bersiap tampil di World Music Festival Traditional di Kalimantan, bersama musisi dari Australia, Singapura, dan Uzbekistan. Dukungan penuh dari Kemendikbudristek memberi mereka peluang memperkenalkan warna musik etnik Nusantara ke panggung dunia.
Dengan konsep panggung minimalis, penonton akan duduk lesehan, menciptakan suasana hangat dan intim di bawah cahaya rembulan Candi Kidal. Satu hal yang pasti, malam itu harmoni nada dan sejarah akan berpadu, menorehkan pengalaman yang sulit dilupakan.